PERPANJANGAN MASA PERLINDUNGAN v TERMINATION RIGHTS: HAK CIPTA UNTUK SIAPA?

Pada tanggal 12 September 2011 yang lalu Uni Eropa mengesahkan sebuah legislasi yang merupakan Amandemen terhadap produk legislasi sebelumnya, EU Directive 2006/116/EC, yang mana intinya adalah memperpanjang masa perlindungan hak penampil dan hak produsen rekaman suara dari semula 50 tahun menjadi 70 tahun, dihitung dari sejak penampilan atau rekaman suara yang dimaksud, dilaksanakan atau dibuat.

Dengan adanya perpanjangan masa perlindungan ini maka masa perlindungan atas lagu-lagu dari grup musik legendaris seperti The Beatles, The Rolling Stones atau The Who – rata-rata direkam pada tahun 1960-an – yang semula akan habis mulai dekade ini, baru akan benar-benar berakhir mulai 2030-an nanti.

EU Directive yang baru tersebut dianggap keluar pada saat yang sangat tepat. Setidaknya itulah pendapat dari Geoff Taylor, pimpinan British Phonographic Industry, kelompok dagang yang mewakili label-label rekaman terkemuka, sebagaimana dikutip oleh New York Times. Geoff juga menyatakan bahwa perlindungan atas hak para musisi untuk memperoleh manfaat dari hasil karya mereka adalah sesuatu yang sangat prinsipil, dan legislasi Uni Eropa tersebut muncul tepat pada saat karya-karya para jenius di bidang musik asal Inggris nyaris kehilangan perlindungannya.

Pihak Uni Eropa menyatakan bahwa alasan utama mereka untuk menyetujui legislasi itu adalah demi kepentingan para penampil dan penulis lagu. Uni Eropa menganggap bahwa perlindungan yang ada saat ini kurang melindungi para penampil – yaitu para artis dan musisi yang menyanyikan dan menampilkan karya-karya mereka – sepanjang sisa hidup mereka.

Namun benarkah para artis dan musisi yang paling diuntungkan dari perpanjangan masa perlindungan tersebut?

Sebuah studi yang dilakukan oleh Center for Intellectual Property Policy and Management di Bournemouth University, Inggris, justru menyatakan sebaliknya. Studi tersebut mengkalkulasi bahwa selain akan membebani masyarakat hingga lebih dari satu milyar euro, sekitar 72 persen keuntungan finansial yang akan dihasilkan dengan adanya legislasi baru tersebut hanya akan diserap oleh label rekaman.

Oke, berarti setidaknya masih ada sisanya yang 28 persen bukan? Jangan senang dulu. Sebagian besar dari angka 28 persen itu hanya akan mempertebal kantong para artis yang berstatus superstar, mereka yang punya posisi tawar kuat dalam industri musik. Paling-paling hanya 4 persennya yang akan diserap oleh “artis dan musisi” pada umumnya.
Hasil kalkulasi yang dilakukan oleh University of Bournemouth tadi bisa jadi bukan hanya hitung-hitungan di atas kertas belaka. Faktanya, banyak artis yang merekam musiknya di tahun 1960-an tidak memiliki hak apapun atas musiknya tersebut. Kenyataan pahit inilah yang setidaknya terungkap dalam beragam biografi dari musisi-musisi pada jaman itu, jaman dimana mereka masih sangat muda dan naïf sehingga gampang terjerat untuk menanda-tangani kontrak yang sesungguhnya kurang menguntungkan untuk mereka, termasuk kontrak-kontrak dimana kepemilikan atas musik mereka sendiri harus beralih ke tangan perusahaan rekaman atau manajemen artis.

Beberapa dari kalangan musisi, seperti ketua International Federation of Phonographic Industry sekaligus penyanyi tenor dan konduktor asal Spanyol Placido Domingo, manajer band asal Irlandia U2 Paul McGuinness, dan juga anggota ABBA Bjorn Ulvaeus, memang menyambut baik legislasi EU yang baru tersebut. Namun tidaklah mengherankan jika sebagian besar musisi malah tidak terlalu antusias menanggapinya. Sandie Shaw, musisi yang dengan Nick Mason dari Pink Floyd dan Ed O’Brien dari Radiohead sama-sama menggawangi sebuah kelompok advokasi hak para musisi Inggris bernama Featured Artist Coalition, sampai-sampai berpendapat kalau legislasi tersebut hanya akan memberi artis dan musisi 20 tahun ekstra untuk tunduk pada kontrak yang sebenarnya sudah tidak layak lagi di era digital seperti ini.

Eropa sendiri sebenarnya tidak terlalu bulat mendukung perpanjangan ini – terlihat dari hasil pemungutan suara yang 17:8 dengan dua suara abstain. Belgia sebagai salah satu yang menentang menyatakan bahwa perpanjangan masa perlindungan bukanlah cara yang tepat untuk memperbaiki nasib para artis karena akan lebih berdampak positif bagi industri. Semasa pemerintahan Tony Blair Inggris bahkan pernah mengikuti rekomendasi sebuah studi untuk tidak mendukung perpanjangan, meskipun mereka berputar haluan saat David Cameron menjadi perdana menteri.

***

Untuk industri musik memang perpanjangan masa perlindungan ini seolah merupakan oase di tengah gurun pasir. Betapa tidak, dalam satu dekade 2000-an saja hasil dari penjualan yang dilakukan oleh industri musik sudah terjun bebas lebih dari 50%, dari angka sekitar 15 milyar dolar ke kisaran 6 milyar dolar saja. Dengan berakhirnya perlindungan atas rekaman suara, bisa dibayangkan berapa besar lagi dampak ekonomi yang akan mereka tanggung nantinya. Karena itu wajar saja jika mereka melobi keras agar legislasi baru ini disetujui.

Paling tidak perpanjangan masa perlindungan di Eropa ini memberikan sedikit angin segar untuk industri rekaman di tengah kecemasan mereka menghadapi satu lagi pukulan yang akan sangat mungkin mereka terima di seberang Atlantik dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

Yang menjadi biang keladi kecemasan itu adalah Pasal 203 UU Hak Cipta Amerika Serikat (17 US Code 203) yang mengatur soal “termination rights”. Berdasarkan ketentuan ini, seorang pencipta yang telah melisensikan atau mengalihkan kepemilikan atas karyanya kepada pihak lain bisa memperoleh kembali hak mereka atas karya tersebut setelah 35 tahun. Dengan demikian, seorang pencipta lagu yang telah menyerahkan hak atas lagunya kepada perusahaan rekaman, misalnya, dapat mengklaim kembali hak kepemilikannya atas lagu tersebut 35 tahun kemudian. Yang harus dilakukan oleh si pencipta lagu adalah mengajukan klaim mereka atas ciptaan yang dimaksud ke kantor hak cipta AS (USCO) sekurang-kurangnya 2 tahun sebelum masa 35 tahun tersebut jatuh tempo.

Ketentuan dalam UU yang disahkan tahun 1976 dan mulai berlaku tahun 1978 ini membuat sebentar lagi akan banyak sekali lagu yang dapat diklaim kembali oleh penciptanya. Setidaknya klaim dari nama-nama beken seperti Bob Dylan, Tom Petty, Bryan Adams dan Kris Kristofferson atas sejumlah lagu-lagu hits mereka sudah tercatat di USCO.

Mendapatkan ancaman seserius ini tentunya industri musik tidak akan tinggal diam begitu saja. Empat label rekaman terbesar – Sony, Universal, EMI dan Warner – bahkan sudah siap untuk habis-habisan melawan. Steven Marks, salah seorang pengacara internal di Recording Industry Association of America, berpendapat bahwa pasal 203 tersebut tidak berlaku untuk seluruh jenis lagu. Industri rekaman berdalih bahwa lagu-lagu yang mereka rekam diciptakan oleh para penciptanya dalam suatu “hubungan kerja” dengan pihak label, seperti halnya hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan, sehingga sesuai UU harus dikecualikan dari pasal mengenai “termination rights” tersebut.

Argumen ini tentu saja mengundang reaksi keras dari banyak pihak. Karakteristik hubungan antara pencipta maupun artis dengan label tidaklah sama dengan hubungan antara karyawan dan pengusaha. June M. Besek, direktur eksekutif Kernochan Center for Law, Media and the Arts dari Columbia University School of Law, bahkan menyatakan bahwa posisi para pencipta lagu dan artis dalam hubungan mereka dengan pihak label lebih menyerupai kontraktor independen ketimbang karyawan.

Banyak pihak memperkirakan kalau dalam beberapa waktu ke depan akan terjadi banyak kasus dan juga kontroversi terkait dengan implementasi Pasal 203 UU Hak Cipta Amerika Serikat ini. Bukan tidak mungkin kasus yang terjadi akan membutuhkan putusan hingga ke tingkat paling tinggi di Mahkamah Agung. Di sisi lain, skenario alternatifnya adalah dilakukannya renegosiasi kontrak antara pihak pencipta/musisi dengan label rekaman untuk mencapai “jalan tengah” yang terbaik bagi kedua belah pihak. Apapun yang akan terjadi, sepertinya para pengacaralah yang akan panen besar, bukan?

***

Perkembangan yang terjadi di Eropa terkait perpanjangan masa perlindungan hak penampil dan produsen rekaman suara dan juga spekulasi mengenai apa yang akan terjadi di Amerika Serikat dengan implementasi pasal 203 adalah dua hal yang berbeda namun sedikit banyak memiliki persambungan antara satu dengan lainnya. Sementara perpanjangan masa perlindungan di Eropa dianggap lebih menguntungkan industri ketimbang para penciptanya sendiri, pasal 203 UUHC AS memberikan peluang bagi para pencipta untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka yang telah dikuasai oleh industri.

Sistem perlindungan hak cipta yang sesungguhnya dimaksudkan untuk melindungi hak para pencipta, dalam perkembangannya justru memperoleh begitu banyak dikritik sebagai sistem yang telah dimanipulasi sehingga lebih menguntungkan kepentingan industri ketimbang hak-hak daripada para pencipta itu sendiri. Lebih jauh lagi, hak cipta yang idealnya diharapkan dapat memberikan motivasi yang lebih kuat untuk berkreasi justru berkembang menjadi suatu sistem yang sedemikian restriktif dan protektif sehingga malah menghambat lajunya diseminasi informasi dan juga inovasi.

Karena itulah, apa yang akan terjadi selanjutnya baik dari disahkannya perpanjangan masa perlindungan di Eropa maupun dari implementasi pasal 203 UUHC AS, menjadi menarik untuk dicermati dan dijadikan bahan pelajaran. Hal ini khususnya dalam rangka terus menggali dan menemukan formulasi perlindungan hak cipta yang semacam apakah yang terbaik untuk diterapkan di Indonesia.

Saya sendiri merasa memperpanjang masa perlindungan mungkin bukanlah pilihan yang bijak untuk diadopsi oleh UUHC kita. Adapun untuk menerapkan aturan serupa “termination of rights” sesuai pasal 203 UUHC AS sepertinya bukanlah hal yang buruk untuk dipikirkan dan dipertimbangkan secara lebih mendalam. Apalagi jika mengingat bahwa bukan tidak mungkin situasi yang terjadi dengan sebagian besar artis dan pencipta di luar sana tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan oleh artis dan pencipta dalam negeri, khususnya dalam berhubungan dengan industri manakala ingin melakukan komersialisasi atas karya-karya mereka.

Artikel mengambil acuan dari beberapa sumber, khususnya berita di New York Times mengenai pengesahan EU Directive yang baru dan mengenai pasal 203 UUHC Amerika Serikat.

PENDAFTARAN DAN IDENTITAS SEBUAH CIPTAAN

Belum lama ini saya menonton di DVD yang Alhamdulillah bukan bajakan, sebuah film lokal berjudul Identitas besutan sutradara Aria Kusumadhewa (Beth, Novel tanpa Huruf “R”) yang dibintangi oleh Tio Pakusadewo, Leony, dan didukung pula oleh nama-nama seperti Ray Sahetapy serta Titi Sjuman. Film yang mengusung semangat independen sebagaimana karya-karya Aria lainnya ini meskipun tidak terlalu gemilang secara komersial, mungkin karena tidak ada adegan janda muda nan semok berbikini di dalamnya, ternyata cukup sukses di ajang festival dengan menyabet Piala Citra di FFI 2009 untuk kategori Film dan Pemeran Utama Pria terbaik.

Film ini bercerita tentang seorang pengurus mayat di kamar jenazah sebuah RS yang bersimpati pada seorang gadis remaja misterius yang ayahnya dirawat di RS tersebut namun kesulitan biaya hingga terpaksa harus melacurkan diri. Saat si pengurus mayat mulai menemukan jalan untuk mendapatkan bantuan, si gadis malah ditemukan tewas dan jenazahnya ditelantarkan lantaran ia tidak memiliki identitas.
Tema cerita yang sederhana namun aktual serta dituturkan dengan gaya dark comedy yang penuh satir ini sangat menggelitik bagi saya. Apalagi sindiran-sindiran yang begitu mengena soal bagaimana masyarakat kita dewasa ini begitu tergila-gila akan adanya “identitas resmi” sekedar untuk membuktikan eksistensi seseorang sehingga ia bisa memperoleh hak-hak yang semestinya sesuai dengan keberadaannya tersebut. Seakan-akan, selembar surat keterangan identitas resmi jauh lebih penting dan kuat untuk membuktikan bahwa seseorang itu ada ketimbang si orangnya itu sendiri.

Kalau mau disambung-sambungkan, meskipun mungkin terlihat agak maksa, persoalan “identitas resmi” ini bisa juga ditemukan pembandingnya di dunia HKI, khususnya pada perlindungan Hak Cipta. Hal ini terkait dengan Bab IV UU no.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mengatur mengenai Pendaftaran Ciptaan. Di dalamnya, antara lain, Pasal 35 menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal (DJHKI) menyelenggarakan pendaftaran Ciptaan dan dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan.

Gara-gara ketentuan mengenai pendaftaran ciptaan ini, Dirjen HKI dalam suatu kesempatan informal pernah bercerita kalau ia dan instansinya kerap di-curhat-i banyak pihak mengenai kendala yang mereka hadapi, yang sebenarnya lebih diakibatkan oleh kesalah-pahaman mereka sendiri mengenai apa maksud dan fungsi dari “pendaftaran ciptaan”. Sebagai contoh, konon seorang seniman pernah mengeluhkan bahwa banyaknya karya-karya seniman lokal kita yang dibajak oleh pihak lain antara lain disebabkan oleh proses pendaftaran ciptaan di DJHKI yang terlalu teknis sehingga banyak seniman yang enggan mengurus perlindungan hak cipta untuk karya-karya mereka. Si seniman itu lalu mengandaikan kalau seorang penulis, pelukis atau pemusik harus mengurus pendaftaran hak cipta bagi setiap karya yang mereka hasilkan, alangkah repotnya mereka, baik dari segi waktu, tenaga maupun biaya. Apalagi kalau untuk mengurusnya harus langsung ke kantor DJHKI yang berada nun jauh di sana…Ooops!

***

Kalau boleh dibilang, keluhan yang disampaikan oleh si seniman di atas, sebagaimana juga keluhan-keluhan serupa dari masyarakat yang sampai kepada DJHKI, berpangkal dari ke-“salah kaprah”-an masyarakat dalam memahami sistem perlindungan Hak Cipta dan keberadaan perangkat pendaftaran ciptaan. Kalau mau ditelusuri, mungkin penggunaan istilah “pendaftaran” itu sendiri turut berperan besar dalam menimbulkan kesalah-kaprahan masyarakat tersebut. Bukankah lazim dalam keseharian kita istilah “pendaftaran” dipergunakan untuk merujuk kepada suatu proses pengesahan baik secara administratif maupun hukum pada lembaga-lembaga masyarakat baik yang formal maupun informal? Pendaftaran anggota organisasi A, pendaftaran peserta lomba atau kontes B, pendaftaran pemilih, dan lain sebagainya. Tanpa mendaftar terlebih dahulu, seseorang tidak bisa jadi anggota, tidak bisa ikut lomba, atau tidak bisa ikut mencontreng di TPS.

Pemahaman masyarakat akan istilah pendaftaran berdasarkan pengertian-pengertian dalam contoh di atas inilah yang sepertinya keliru diterapkan pula pada istilah “pendaftaran” dalam konteks perlindungan hak cipta. Dengan demikian banyak yang salah menduga kalau karya mereka tidak akan dilindungi hak cipta apabila tidak didaftarkan terlebih dahulu.

Padahal tidaklah demikian kenyataannya. Berbeda dengan “saudara-saudara”-nya sesama rejim perlindungan HKI lain seperti paten atau merek, sistem perlindungan hak cipta secara umum sesuai prinsip perlindungan berdasarkan Konvensi Bern menganut stelsel pasif dimana pendaftaran – atau apapun istilah yang dipakai – hanya bersifat deklaratif ketimbang konstitutif. Artinya, seorang pencipta tidak perlu mendaftarkan ciptaannya agar ciptaan tersebut dilindungi hak cipta. Secara otomatis, ciptaan tersebut akan dilindungi hak cipta begitu ciptaan itu lahir atau diekspresikan, tanpa perlu melalui prosedur maupun formalitas apapun.

Memang kalau di Amerika Serikat agak sedikit lain ceritanya, karena negara tersebut pada awalnya memberlakukan sistem pendaftaran konstitutif dimana setiap ciptaan wajib didaftarkan ke Kantor Hak Cipta AS untuk dapat dilindungi hak ciptanya.Ketika itu AS sempat menolak menjadi peserta Konvensi Bern, dan sebaliknya menjadi motor dari “kutub” perlindungan lainnya yaitu Konvensi Hak Cipta Universal (Universal Copyright Convention/UCC). Gerakan “hak cipta perjuangan” ini tidak berlangsung lama karena akhirnya AS menyerah juga untuk ikut menanda-tangani Konvensi Bern pada tahun 1989, dengan salah-satu konsekuensinya memberikan perlindungan otomatis tanpa perlu pendaftaran terlebih dahulu.

Tapi toh meski terpaksa harus mengikhlaskan gugurnya kewajiban mendaftarkan ciptaan untuk memperoleh perlindungan Hak Cipta, mereka tetap memberlakukan kewajiban pendaftaran ciptaan bagi setiap ciptaan yang dihasilkan di AS oleh pencipta berkewarganegaraan AS untuk didaftarkan sebagai prasyarat untuk mengajukan gugatan pelanggaran hak cipta di pengadilan AS. Di samping itu, pendaftaran ciptaan adalah prasyarat mutlak agar si pemegang hak cipta jika mengajukan gugatan pelanggaran hak cipta kelak dapat pula menuntut statutory damages dalam gugatannya.

Di Indonesia – seperti juga di hampir semua negara peserta Konvensi Bern yang lain – tentu saja tidak demikian halnya. Meskipun sistem pendaftaran ciptaan tetap diselenggarakan, namun dilakukan atau tidaknya pendaftaran tersebut tidaklah berpengaruh terhadap ruang lingkup perlindungan hak cipta yang diberikan kepada si pencipta/pemegang hak cipta, termasuk terhadap upaya penegakan hak cipta tersebut baik secara perdata maupun pidana.

Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sifat deklaratif dari pendaftaran ciptaan di Indonesia inilah yang membuat pendaftaran ciptaan seolah menjadi segala-galanya. Seolah-olah selembar sertifikat pendaftaran ciptaan yang dikeluarkan oleh Ditjen HKI mewakili pemerintah RI merupakan jaminan mutlak validitas perlindungan hak cipta atas ciptaan yang terdaftar tersebut, apalagi sertifikat yang dimaksud dicetak di atas kertas khusus seperti halnya sertifikat tanah atau ijazah anak sekolah dengan lambang Garuda Pancasila di atasnya. Dan celakanya kesalah-pahaman semacam ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam saja, karena konon ada juga aparat penegak hukum seperti polisi atau bahkan hakim yang mempersoalkan keberadaan sertifikat pendaftaran ciptaan sebagai prasyarat untuk melakukan tindakan hukum terkait dugaan pelanggaran hak cipta.

Tak heran jika dalam rencana revisi terhadap UU no.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang saat ini tengah dimatangkan RUU-nya, Ditjen HKI istilah “pendaftaran” akan diganti dengan menggunakan istilah “pencatatan”, yang dianggap memiliki “bobot” lebih ringan. Alih-alih sertifikat pendaftaran ciptaan bergambar Garuda Pancasila, Ditjen HKI pun nanti hanya akan mengeluarkan semacam surat keterangan pencatatan ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan. Dengan demikian, diharapkan tidak akan ada lagi yang salah paham maupun berharap lebih terhadap proses pencatatan ciptaan oleh Ditjen HKI ini baik dari masyarakat umum maupun aparat hukum seperti pak polisi, pak hakim dan pak jaksa…

***

Kalau para kreator atau seniman lokal kita sampai menganggap pendaftaran ciptaan sebagai sesuatu yang mutlak dilakukan dalam memperoleh perlindungan Hak Cipta, tentunya saya yakin bukan karena mereka ngebet ingin pamer dan memajang tanda-tangan pejabat Ditjen HKI di atas sertifikat ciptaan yang sudah dipigura di ruang tamu rumah mereka. Alasan yang paling wajar tentu saja adalah untuk mengamankan kalau-kalau karya mereka diklaim oleh orang lain. Sertifikat pendaftaran ciptaan dianggap sebagai pemberi rasa aman tersebut, sebagai jaminan merekalah pencipta atau pemilik sah atas ciptaan yang didaftarkan tadi.

Tentunya tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa pendaftaran ciptaan bisa turut berperan dalam “mengamankan” hak si pencipta. Pasal 5 UU no.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta misalnya menempatkan Daftar Umum Ciptaan Ditjen HKI sebagai sumber rujukan utama menentukan nama pencipta sebuah karya ketimbang nama yang dicantumkan pada ciptaan itu sendiri. Tapi jangan sampai lupa kalau pasal tadi diawali dengan kalimat sakti “kecuali terbukti sebaliknya”. Artinya, meskipun pendaftaran suatu ciptaan di daftar umum ciptaan bisa menjadi alat bantu untuk membuktikan soal siapa penciptanya, validitasnya tidaklah mutlak dan dapat digugurkan apabila ada bukti lain yang lebih kuat menyatakan kalau nama pencipta yang ada pada daftar umum ciptaan itu bukanlah pencipta yang sebenarnya.

Mengenai bagaimana membuktikan siapa pencipta sebuah karya, ada berbagai macam cara. Saya jadi ingat dulu di Inggris dan negara-negara Eropa lain dikenal istilah poor man’s copyright. Sebagai alternatif dari mendaftarkan ciptaan ke kantor hak cipta yang kerapkali terpusat dan sukar dijangkau oleh mereka yang tinggal di tempat yang jauh, sering terjadi dimana seorang pencipta memasukkan karya yang baru ia hasilkan ke dalam amplop tertutup dan bersegel lalu dikirimkan melalui jasa pos resmi ke alamatnya sendiri. Cap pos pada amplop yang dikirim ke alamat sendiri itu biasanya memuat tanggal sehingga sepanjang amplop tersebut masih tertutup/tersegel rapi dapat menjadi acuan bahwa si pencipta memang telah memiliki karya tersebut jauh sebelum ada pihak lain yang memilikinya, sehingga diharapkan bisa mendukung klaim bahwa ialah pencipta yang sesungguhnya.

Meskipun terdengar cukup masuk akal, metode ini sebenarnya punya kelemahan yang cukup fatal: apa susahnya bagi seseorang untuk mengeposkan amplop kosong dengan tutup yang terbuka ke alamatnya sendiri demi untuk mendapatkan cap pos resmi bertanggal, untuk dipergunakan jauh-jauh hari kemudian apabila ia ingin mengklaim karya milik orang lain.

Alternatif lain dari metode poor man’s copyright di atas adalah dengan menyimpankan salinan dari ciptaan pada notaris publik yang akan mencatat secara resmi tanggal penyimpanannya. Intinya adalah untuk mendapatkan catatan waktu resmi yang menunjukkan bahwa si pencipta memang sudah memiliki ciptaan tersebut paling awal dibandingkan pihak manapun. Catatan waktu semacam ini semestinya bisa dengan mudah diperoleh di jaman sekarang, karena setahu saya setiap data yang dihasilkan secara digital akan memperoleh semacam timestamp dalam bentuk metadata yang berisi keterangan kapan data tersebut dibuat sampai ke satuan detiknya. Hanya saja untuk validitasnya belum tentu juga karena saya tidak yakin apakah bisa dilakukan perubahan terhadap metadata timestamp semacam ini oleh orang yang memiliki keahlian khusus di bidang teknologi informasi, apalagi oleh pakar yang sudah mendapatkan gelar bangsawan dari Keraton di Jawa sana.

Yang jelas, mengingat pendaftaran ciptaan pada Daftar Umum Ciptaan di Ditjen HKI sendiri bukanlah prasyarat untuk memperoleh perlindungan hak cipta dan bukan juga sebagai alat bukti mutlak dalam sengketa hak cipta, maka semestinya ada banyak alternatif cara lain yang bisa dilakukan untuk mengamankan hak seorang pencipta atas karya ciptanya. Yang paling utama sebenarnya adalah bagaimana agar masing-masing kreator bisa merapihkan dan mendisiplinkan pendokumentasian dari setiap karya cipta yang mereka hasilkan, sehingga manakala timbul sengketa ataupun pelanggaran mereka bisa dengan mudah dan cepat menunjukkan bahwa karya yang sedang disengketakan tersebut memang benar ciptaannya.

Pemerintah daerah, sebagai contoh, bisa juga mengakomodir kebutuhan ini dengan menyelenggarakan inventarisasi atau pendataan sendiri terhadap hasil-hasil kreasi dan inovasi masyarakat di daerah masing-masing. Atau bisa juga inisiatif muncul dari masyarakat itu sendiri tanpa perlu menunggu pemerintah. Sebagai contoh, misalnya, saya pernah secara informal mengusulkan kepada suatu kelompok industri kreatif di Bandung untuk bekerja-sama dalam menerbitkan katalog berkala yang memuat informasi mengenai karya yang akan dipasarkan oleh anggota-anggota komunitas tersebut kepada publik. Selain sebagai sarana promosi, katalog semacam ini bisa juga berfungsi sebagai klaim awal si pencipta atas ciptaannya yang dimuat di media tersebut.

Toh tidak seperti paten dimana sebuah invensi bisa gugur kebaruannya apabila sudah diumumkan terlebih dahulu kepada publik, dalam hak cipta semakin awal publik diperkenalkan dan dibuat maklum akan siapa pencipta dari sebuah karya maka akan semakin sulit bagi pihak lain untuk mengklaim karya tersebut di kemudian hari.

Kenapa tidak?

WALAU BERBEDA TAPI TETAP RANCU JUA: ANTARA PLAGIARISME DAN PELANGGARAN HAK CIPTA

Ada teman bertanya pada saya, bukan soal buat apa berlapar-lapar puasa atau tadarus-tarawih apa gunanya seperti yang ada di lagu Bimbo, melainkan soal perbedaan antara pelanggaran Hak Cipta dengan Plagiarisme.

Teman tersebut kebetulan tengah mengerjakan skripsi soal dugaan pelanggaran Hak Cipta terkait penjiplakan gambar pada suatu produk cindera mata. Konon katanya, ia mendapatkan masukan dari salah satu sumber bahwa situasi yang serupa dengan kasus yang sedang ia jadikan bahan skripsi tadi sebenarnya adalah bentuk Plagiarisme. “Bisikan” ini lantas membuatnya bingung, lebih bingung daripada seorang presiden yang dibisiki oleh tukang pijatnya, karena meskipun ia sudah sering mendengar istilah “plagiarisme” sebelumnya ternyata pengaturan mengenai Plagiarisme tadi tidak dapat ia temukan dalam UU Hak Cipta maupun UU HKI manapun. Yang dikhawatirkan adalah, tentu saja, hal ini akan membuat pembahasan kasusnya menjadi rancu.

Kebingungan tadi tentunya bukan monopoli teman saya sendiri saja karena memang banyak yang masih sulit membedakan antara Pelanggaran Hak Cipta dan Plagiarisme. Wajar saja, karena toh dalam kehidupan sehari-hari keduanya memang kerap bersinggungan satu sama lain dan timbul pada satu peristiwa yang sama, sehingga banyak kasus-kasus plagiarisme yang mengandung pula unsur-unsur pelanggaran Hak Cipta dan demikian pula sebaliknya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menuntaskan kebingungan teman saya dan juga orang-orang lain yang senasib dengannya tadi. Karena toh saya tidak menjamin kalau Anda yang sedang bingung lalu membaca tulisan ini, Anda tidak akan malah bertambah bingung dibuatnya. Saya hanya ingin sedikit berbagi soal apa yang saya ketahui tentang perbedaan antara plagiarisme dan pelanggaran hak cipta, dan bagaimana menarik batas yang jelas manakala keduanya saling bersinggungan satu sama lain. Yang jelas, saya jamin seratus persen bahwa tulisan saya ini bukan hasil plagiat maupun melanggar hak cipta siapapun…

***

Plagiarisme dapat diartikan sebagai “false claim of authorship”. Dalam pengertian ini, plagiarisme terjadi manakala seseorang mengambil ide, gagasan atau karya yang dihasilkan oleh orang lain dan mengakuinya sebagai ide, gagasan atau karyanya sendiri. Contoh dari perbuatan plagiat – istilah untuk pelaku plagiarisme – ini tentunya sudah kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, kalau bukan malah kita sendiri yang sering jadi plagiat.

Jaman sekolah dulu, misalnya, anda pernah mencontek? Atau ketika masih mahasiswa , pernahkah Anda meminjam soft-copy tugas kuliah yang dibuat oleh teman Anda yang calon cum-laude untuk Anda copy-paste dengan sedikit modifikasi pada jenis font yang dipakai sebelum dikumpulkan pada dosen sebagai tugas Anda sendiri? Kalau jawabannya ya, selamat! Artinya Anda setidaknya pernah punya pengalaman sekali sebagai plagiat, dan jangan bête atau marah-marah kalau seandainya dalam meeting di kantor pagi ini salah seorang kolega Anda yang terkenal nyebelin dan penjilat tiba-tiba mempresentasikan ide cemerlang milik Anda yang tanpa sengaja Anda beberkan sendiri sambil setengah mabuk saat pulang clubbing bareng tadi malam. Kalau Anda percaya karma, mungkin itu adalah ganjaran atas betapa “plagiat”-nya Anda semasa sekolah dulu…

Salah satu tempat dimana plagiarisme tumbuh dengan cukup subur bagaikan tanaman eceng gondok waduk Saguling barangkali adalah di industri hiburan seperti musik, film atau televisi. Kalau mau didengar semua, mungkin banyak sudah insan perfilman dan pertelevisian Indonesia yang pada merah kupingnya gara-gara kerap dituding memplagiat karya-karya asing baik berupa film, sinetron maupun program-program tayangan hiburan lainnya. Tak ketinggalan sejumlah musisi tanah air yang dicap sebagai plagiat kronis gara-gara lagu hitsnya banyak yang “mirip-mirip” sama lagu-lagu asing. Untungnya para seniman kita itu tadi cukup tabah dan cuek-cuek saja menerima segala tuduhan dan hujatan tersebut, toh yang penting rating acara maupun angka penjualan ring-back tone lagunya tetap tinggi, kan?

Marilah kita kesampingkan dulu perdebatan mengenai apakah para pelaku industri hiburan kita banyak yang plagiat atau tidak. Yang jelas plagiarisme itu sendiri merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap norma sosial, khususnya nilai-nilai yang berlaku di masyarakat terkait dengan soal kejujuran. Dengan melakukan plagiarisme, seseorang telah berbuat tidak jujur karena mengakui sesuatu yang bukan miliknya, bukan hasil karyanya.

Karya plagiat, atau karya jiplakan, harus dibedakan dengan karya saduran maupun karya adaptasi. Pada karya saduran dan adaptasi, selain pencipta aslinya tetap diakui, dalam melakukan penyaduran maupun pengadaptasian si pelaku memberikan nilai tambah tertentu terhadap karya tersebut. Dengan demikian, secara kualitas karya saduran atau adaptasi akan memperkaya khasanah budaya berdasarkan karya asal yang menjadi sumbernya tadi. Sebagai contoh adalah lagu My Way yang disadur oleh Paul Anka dari sebuah lagu Perancis berjudul Comme D’habitude, adaptasi novel The Godfather karya Mario Puzo menjadi film oleh Francis Ford Coppola, atau sutradara Martin Scorsese yang mengadaptasi film Hong Kong Infernal Affairs yang dibintangi oleh Tony Leung dan Andy Lau menjadi The Departed.

Berbeda dengan karya adaptasi, selain tidak mengakui dari mana sumbernya, karya plagiat biasanya memiliki kualitas yang cenderung inferior, sehingga alih-alih memberikan nilai tambah, yang ada malah distorsi yang mengganggu. Masyarakan dalam hal ini tentunya akan dirugikan, apalagi ditambah dengan adanya “kebohongan” dari si pelaku, sehingga secara umum plagiarisme merupakan tindakan yang dipandang negatif dan tidak dapat diterima. Sebagai pelanggaran norma sosial, pelaku plagiarisme yang ketahuan biasanya akan menerima sanksi sosial yang beraneka ragam, mulai dari cemoohan sampai kecaman atau bahkan pengucilan, dan bisa bertambah lagi dengan sanksi administratif manakala “dosa” tersebut dilakukan dalam lingkungan institusi akademik ataupun pers. Wakil Presiden Amerika Serikat saat ini, Joe Biden, malah pernah menerima kecaman keras sampai-sampai ia harus menarik diri dari kampanyenya untuk menjadi kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat di tahun 1988 gara-gara terungkap kalau dia pernah tersangkut urusan plagiarisme semasa kuliah di fakultas hukum dulu, dan ditambah lagi sebagian isi dari pidato kampanyenya ketahuan menjiplak pidato beberapa politisi lain.

Adapun pelanggaran Hak Cipta adalah bentuk pelanggaran terhadap norma hukum yang ditetapkan oleh negara, yaitu dalam hal ini UU no.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang telah memberikan perlindungan hak cipta kepada setiap pencipta dalam bentuk hak eksklusif yang berlaku selama jangka waktu tertentu untuk memperbanyak dan/atau mengumumkan ciptaannya. Hukum mengatur demikian karena negara berpandangan bahwa setiap pencipta telah memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui karya-karya mereka di bidang seni, sastra atau ilmu pengetahuan sehingga mereka layak mendapatkan penghargaan berupa hak eksklusif tadi. Manakala ada pihak lain yang mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan tanpa seijin si pencipta atau pemegang hak cipta, maka berarti telah terjadi pelangaran hak cipta yang dapat berakibat pada timbulnya sanksi hukum, baik secara perdata melalui gugatan ganti kerugian maupun secara pidana berupa penjara atau denda.

Dari sini terlihat bahwa selain plagiarisme dan pelanggaran hak cipta bersumber dari dua sistem kaidah dan norma yang berbeda, perbedaan juga terletak pada kepentingan siapa yang dirugikan oleh masing-masing perbuatan tadi. Kalau para plagiat baik secara langsung atau tak langsung merugikan masyarakat karena yang telah menjadi korban “kebohongan” mereka tersebut, maka para pelanggar hak cipta secara langsung merugikan kepentingan si pencipta atau pemegang hak cipta atas pemakaian ciptaan mereka secara ilegal tersebut.

Di sisi lain, meskipun terdapat beberapa unsur yang membedakan antara plagiarisme dan pelanggaran hak cipta, toh keduanya tetap terkait erat oleh satu benang merah: adanya penggunaan hasil karya orang lain oleh si pelaku. Karena itu sangatlah wajar apabila plagiarisme dan pelanggaran hak cipta timbul secara bersamaan, meskipun tidak semua aksi plagiarisme mengandung pula pelanggaran hak cipta, atau sebaliknya.

Seorang produser film atau musisi bisa dituding melakukan plagiarisme manakala ia diduga menjiplak film atau lagu karya orang lain. Kalau benar memang ia melakukan penjiplakan sebagaimana yang dituduhkan tadi, berarti ia telah mengambil dan menggunakan karya orang lain dalam karyanya sehingga bukan tidak mungkin terdapat juga pelanggaran Hak Cipta di sana. Dalam hal ini, ada satu prinsip dasar yang harus diingat, bahwa manakala plagiarisme mencakup pula penjiplakan terhadap ide maupun gagasan, di sisi lain hak cipta hanya melindungi ekspresi dari suatu ide atau gagasan dan bukan ide atau gagasan itu sendiri.

Dengan demikian, haruslah dilihat terlebih dahulu sejauh atau sedalam apakah penjiplakan tersebut dilakukan. Penjiplakan terhadap ide-ide atau konsep-konsep dasar seperti misalnya kasih tak sampai, kawin paksa atau perselingkuhan tidaklah menimbulkan pelanggaran Hak Cipta. Bagaimana menentukan pemisahan antara ide dan ekspresi dalam suatu ciptaan itu soal lain, perlu pembahasan yang terpisah karena cukup njelimet dan panjang lebar.

Toh sekalipun penjiplakan dilakukan dengan begitu dalam dan detail sampai kepada bagian yang sangat substansial dari suatu karya, misalnya kalau ada lagu dijiplak secara persis dari not ke not dengan hanya mengganti liriknya saja, atau kalau film hanya mengganti setting lokasi dan nama-nama tokohnya saja, belum berarti si penjiplak telah pula melanggar hak cipta. Bisa jadi karya yang dijiplak tersebut adalah karya yang masa perlindungan hak ciptanya sudah berakhir sehingga telah menjadi milik umum/public domain. Contohnya adalah apabila yang dijiplak adalah karya-karya mereka yang sudah meninggal dunia lebih dari 50 tahun lamanya seperti Shakespeare, Beethoven, atau WR Supratman.

Atau, bisa pula si plagiat sudah memenuhi syarat terpenting agar pelanggaran hak cipta tidak terjadi: mendapatkan izin atau lisensi dari si pencipta untuk membuat jiplakan dari karyanya tersebut. Hal serta sah-sah saja dilakukan, karena memang secara hukum dimungkinkan, apalagi kalau hitung-hitungan komersialnya masuk, meskipun belum tentu memuaskan jika dipandang dari dari sisi intelektualitas atau kreativitas.

Sebaliknya, bukanlah hal yang sulit untuk menemukan contoh terjadinya pelanggaran hak cipta tanpa ada unsure plagiarisme di dalamnya. Para pembajak lagu atau film misalnya, secara ilegal mengumumkan dan memperbanyak karya milik orang lain tanpa mengakui karya yang dibajak tadi sebagai karyanya sendiri. Kalau anda menyambangi lapak-lapak penjual CD dan DVD bajakan di Glodok, saya berani bertaruh anda tidak akan menemukan satupun DVD film yang nama sutradaranya diganti dengan nama si pembajak atau si pemilik lapak. Kalaupun ada pembajak yang cukup pede melakukannya, itu sama saja bunuh diri menghancurkan bisnisnya sendiri, karena toh yang dicari orang adalah lagu Laskar Pelangi ciptaan Nidji dan bukan ciptaannya si Acong, si Ujang atau entah siapa lagi yang lainnya…..

***

Pendek kata, supaya jangan bingung, ingat saja tiga unsur dasar untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran hak cipta berikut ini:
1) Bahwa ada Ciptaan yang dilindungi Hak Cipta dimana masa perlindungannya masih berlaku;
2) Bahwa ada bagian substansial dari Ciptaan tersebut yang diumumkan dan/atau diperbanyak, dan
3) Bahwa pengumuman dan/atau perbanyakan tersebut dilakukan tanpa seijin dari si pencipta atau pemegang hak cipta, dan tidak termasuk ke dalam penggunaan yang dibenarkan (fair use) menurut ketentuan UU Hak Cipta.

Manakala ketiganya terpenuhi, voila kalau kata orang Perancis, ada pelanggaran hak cipta disitu. Sebaliknya, tanpa adanya ketiga unsur tadi, maka secanggih apapun penjiplakan dilakukan tidak menjadi urusan hukum, kecuali mungkin terkait pelanggaran hak moral karena dikesampingkannya nama si pencipta. Tapi meskipun demikian, tetap saja perbuatan plagiat seperti menjiplak, mencontek atau apapun namanya bukanlah kebiasaan yang baik untuk dilakukan, apalagi dipelihara dan dikembangkan.

Akhirnya, mudah-mudahan tulisan ini bisa membantu Anda supaya tidak lagi bingung membedakan antara plagiarisme dan pelanggaran hak cipta. Tapi kalaupun Anda tetap atau malah makin bingung, ya sudahlah dinikmati saja, toh masih mendingan bingung rame-rame daripada bingung sendirian kan?…;p

PELANGGARAN HAK CIPTA: DELIK BIASA v DELIK ADUAN, ATAU NASIB PENGAMEN INDONESIA…

Kalau Anda adalah orang Indonesia, apalagi yang tinggal di perkotaan khususnya Jakarta, saya yakin Anda cukup familiar dan sering bertemu dengan mereka yang ber-“profesi” sebagai pengamen jalanan. Dari mulai yang mangkal di tempat tertentu, bergerilya menunggu kendaraan berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah, sampai yang dengan penuh semangat menjajakan jasanya secara door-to-door, tidak kalah dengan salesman alat penghisap debu.

Modal usaha mereka pun bermacam-macam, selain suara tentu saja. Ada yang cukup serius membawa dan memainkan alat musik secara langsung, ada juga yang “bermodal” sambil nggak mau ribet dengan membawa-bawa mini compo yang dinyalakan dengan tenaga aki untuk memainkan musik pengiring. Tidak sedikit juga yang maksa: hanya bermodalkan tutup minuman botol yang dipakukan ke pegangan kayu hingga berbunyi kecrik-kecrik dan bahkan ada pula cukup pede dengan modal tepuk tangan kosong belaka.

Banyak diantara “pekerja seni” jenis ini yang sungguh-sungguh berbakat sehingga aksi-aksi mereka memberikan hiburan tersendiri, apalagi jika dibandingkan dengan bintang-bintang sinetron karbitan yang ke-pede-an pengen ikut jadi penyanyi. Jangan lupa, banyak nama-nama besar di dunia musik negeri kita saat ini, mulai dari Iwan Fals sampai Didi Kempot,yang lahir dan besar dari profesi musisi jalanan seperti ini.

Namun yang menjengkelkan dan mengganggu banyak juga. Tiba-tiba muncul dari balik jendela mobil, mangap-mangap nggak jelas dengan iringan musik “imajiner” yang hanya ada dalam kepala mereka sendiri dan sambil bertepuk-tepuk tangan, lalu seenaknya menadahkan tangan minta uang dengan gigih meskipun kita sudah melambai-lambaikan tangan tanda menolak.

Untuk “menyingkirkan” gangguan-gangguan semacam itu tentunya bukan hal mudah, jangankan buat kita, tapi juga untuk aparat seperti polisi ataupun satpol PP. Di jaman reformasi seperti sekarang ini, bisa saja mereka berdalih bahwa aksi tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia mereka untuk mencari nafkah dan penghidupan yang layak. Belum lagi kalau sudah ditambah dengan dalih “memperjuangkan kebebasan berekspresi dan berkesenian”.

Tapi sebenarnya, kalau aparat penegak hukum kita cukup jeli dan mau melakukannya, ada cara ampuh untuk “membungkam” para pengamen itu. Gampang. Tangkap saja mereka dengan tuduhan melakukan pelanggaran Hak Cipta, dan mereka pun harus bersiap-siap untuk tinggal di bui paling tidak selama satu bulan lamanya, atau kalau benar-benar apes, lima tahun. Lho, tapi kok Hak Cipta?

Seumur-umur, belum pernah saya bertemu dengan pengamen yang cukup pede menyanyikan lagu ciptaan mereka sendiri, ataupun yang menyanyikan lagu-lagu yang sudah jadi public domain sejadul lagu-lagu operanya Puccini. Yang mereka nyanyikan pasti lagu-lagu pop yang sedang hits ciptaan orang lain. Makin hits makin seringlah lagu-lagu itu mereka nyanyikan. Dan saya juga yakin kalau mereka pun belum mengantongi ijin dari para pencipta lagu-lagu yang mereka nyanyikan tersebut.

Padahal, sesuai Pasal 2 Ayat 1 UU Hak Cipta, mengumumkan atau memperbanyak suatu Ciptaan, termasuk menyanyikan sebuah lagu di depan umum, adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta, apalagi untuk tujuan yang jelas-jelas komersial seperti para pengamen itu. Pelanggaran atas hak eksklusif tersebut merupakan pelanggaran Hak Cipta yang, sesuai pasal 72 UU Hak Cipta, dapat dipidana.

Apalagi, tindak pidana pelanggaran Hak Cipta merupakan delik biasa, sehingga aparat penegak hukum dapat langsung menindak pelakunya tanpa perlu ada laporan atau pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.

***

Tentunya bukan karena hasil lobi dari asosiasi pengamen se-Indonesia kalau dalam RUU tentang Perubahan atas UU no. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang saat ini tengah disusun oleh pemerintah, dimasukkan pasal mengenai perubahan atas tindak pidana pelanggaran Hak Cipta dari delik biasa menjadi delik aduan.

Saat RUU ini disosialisasikan di Jakarta beberapa minggu yang lalu, isu perubahan delik biasa menjadi delik aduan ini ternyata menyulut kontroversi. Saat para panelis terdiri dari Direktur Hak Cipta Ditjen HKI Arry Ardanta Sigit selaku pembicara, Prof. Agus Sarjono dari UI dan pengacara Justisiari Perdana Kusumah selaku pembahas, serta Prof. Eddy Damian dari Unpad selaku narasumber kompak setuju dan mendukung rencana perubahan ini, suara dari para penanya di floor justru terkesan bersikap sebaliknya.

Seorang penanya yang mewakili industri rekaman mengkhawatirkan dampak perubahan tersebut terhadap pembajakan. Penanya lain dari kepolisian jelas-jelas menentang rencana perubahan ini, menjulukinya dengan istilah “turun pangkat”, dan mengklaim bahwa tingkat pembajakan saat ini “lebih mendingan” daripada jamannya delik aduan dulu. Adapun seorang penanya yang merupakan pengusaha cakram optik ikut menyuarakan ketidak-setujuan. Lucunya ia justru curhat kalau dulu konon dia pernah dikerjai oknum petugas yang menggeledah pabriknya dalam rangka razia pelanggaran Hak Cipta. Tidak menemukan aktivitas penggandaan CD dan DVD ilegal di sana, kadung sudah menggeledah oknum tersebut tetap memboyong si pengusaha yang apes itu hanya lantaran ditemukan satu keping DVD film bajakan di kantornya.

Reaksi negatif banyak kalangan terhadap rencana perubahan delik tindak pidana pelanggaran Hak Cipta tadi sebenarnya cukup bisa dimaklumi. Tingkat pelanggaran Hak Cipta dalam bentuk pembajakan musik, film dan perangkat lunak di Indonesia memang sudah seperti kanker ganas yang bukannya dapat dikendalikan ataupun diatasi tetapi malah makin menjalar kemana-mana. Meskipun, tentu saja, tidak sedikit juga masyarakat yang “mensyukuri” situasi ini dan menganggap barang bajakan sebagai guilty pleasure bagaikan makan chocolate cheesecake sebelum tidur.

Logika berpikir yang dipakai oleh mereka yang tidak setuju sebenarnya sederhana saja: kalau dengan delik biasa saja pembajakan sudah susah diberantas, apalagi dengan delik aduan nanti? Logika berpikir serupa inilah sepertinya yang juga dipakai ketika delik aduan yang sebenarnya sudah dipergunakan pada UU no.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta kemudian dirubah menjadi delik biasa ketika UU tersebut direvisi melalui UU no.7 tahun 1987 dan berlangsung sampai saat ini. Barangkali para pembuat hukum kita saat itu – serta siapapun yang menjadi sponsor di baliknya – berharap agar dijadikannya tindak pidana pelanggaran hak cipta sebagai delik biasa dapat mengefektifkan penegakan hukum hak cipta khususnya dalam memberantas pembajakan. Beban berat pun diletakkan di pundak aparat hukum kita, baik kepolisian maupun penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di Ditjen HKI, dengan diberikannya wewenang untuk dapat langsung menindak siapapun yang diduga melakukan pelanggaran hak cipta tanpa perlu menunggu laporan atau pengaduan dari pemegang hak yang dilanggar.

Akan tetapi pada kenyataannya, setelah lebih dari satu dekade berlalu, status delik biasa tindak pidana pelanggaran hak cipta tetap tidak mampu mengatasi merajalelanya pembajakan di tanah air kita. Sedemikian mudahnya kita jumpai tempat-tempat yang secara terang-terangan menjual musik, film serta program komputer bajakan mulai dari lapak pinggir jalan hingga gerai di pusat perbelanjaan kelas atas sehingga akan sangat naïf kalau dibilang bahwa aparat yang berwenang tidak mengetahui adanya aktivitas pelanggaran hak cipta tersebut. Toh, dengan kewenangan aparat yang sedemikian besar untuk langsung menindak, aktivitas ilegal tadi terus berjalan dengan leluasa.

Padahal di sisi lain, masuknya tindak pidana pelanggaran hak cipta ke dalam delik biasa merupakan suatu bentuk pengingkaran terhadap prinsip paling mendasar dari sistem perlindungan HKI itu sendiri. HKI merupakan wilayah hukum privat dimana setiap pemegang hak memiliki kekuasaan penuh dan eksklusif untuk mengijinkan atau melarang pihak lain untuk memanfaatkan ciptaannya. Kapanpun seorang pemegang HKI merasa bahwa kekayaan intelektualnya telah dimanfaatkan oleh pihak lain secara melawan hak dan merugikan kepentingannya, maka ia berhak untuk mengambil tindakan hukum baik melalui gugatan perdata maupun tuntutan pidana. Namun sebaliknya, manakala pemanfaatan oleh pihak lain tadi dirasakan wajar-wajar saja dan tidak mengganggu, maka adalah hak si pemegang HKI pulalah untuk diam saja tanpa mengambil tindakan apapun.

Inilah privilege yang sejatinya dimiliki oleh setiap pemegang HKI sehingga sudah sepantasnya pula apabila kriminalisasi pelanggaran HKI dimungkinkan hanya sebagai delik aduan, karena untuk menggugat atau tidak, menuntut atau tidak, merupakan hak prerogatif dari si pemilik hak. Dengan menjadikan delik ini sebagai delik biasa, maka wewenang inisiatif penyidikan polisi atau PPNS yang semestinya tetap berada di ranah publik telah masuk ke ranah privat. Ini juga berarti intervensi terhadap privilese yang dimiliki oleh pemegang hak cipta tadi, karena terlepas dari dirinya merasa dirugikan atau tidak, keberatan atau tidak, polisi tetap berwenang dan bahkan berkewajiban untuk menindak setiap perbuatan yang diduga memenuhi unsur pelanggaran Hak Cipta sebagaimana tertulis dalam pasal 72 UU Hak Cipta 2002.

Alasan demi untuk memberantas pembajakan bisa saja dikemukakan. Tapi kita jangan sampai lupa bahwa pelanggaran hak cipta bukan semata-mata urusan pembajakan buku, CD atau DVD semata. Kasus pembajakan buku, CD atau DVD masih merupakan kasus pelanggaran hak cipta yang secara substansi sebenarnya cukup sederhana. Saat CD Album Musik “Rinduku Padamu” karya SBY dibajak misalnya, si pembajak secara mentah-mentah menggandakan isi CD tersebut, tentu saja tanpa seijin pak SBY maupun produsernya, sehingga semua orang akan langsung maklum adanya bahwa pelanggaran hak cipta memang sudah terjadi.

Namun tentunya tidaklah sesederhana itu masalahnya manakala pelanggaran hak cipta diduga terjadi pada pemanfaatan secara substansial suatu Ciptaan oleh pihak lain dengan cara-cara yang tidak segamblang penggandaan sebuah buku ataupun keping DVD. Saat seorang musisi mencomot sebagian nada dan aransemen dari karya musisi lain yang lebih dahulu ada untuk membuat lagunya sendiri. Saat sebuah rumah produksi diam-diam menyadur suatu program acara televisi asing. Saat sebuah film dibuat dari naskah yang ditulis berdasarkan cerita sebuah novel tanpa seijin penulis novelnya. Atau saat seorang pengusaha cindera-mata dengan seenaknya tanpa permisi membuat dan menjual kaos bersablonkan gambar dari sebuah lukisan. Dengan delik biasa, aparat mesti langsung bertindak manakala dugaan-dugaan pelanggaran hak cipta di atas muncul, meskipun untuk menentukan apakah benar terjadi pelanggaran hak cipta merupakan wewenang pengadilan untuk memutus. Dan kalau benar aparat kita sekonsisten itu, mungkin Ahmad Dani dan Raam Punjabi sudah bolak-balik ke kantor Polisi.

***

Bahwa pembajakan buku, musik, film dan perangkat lunak di Indonesia sudah berada dalam tingkatan yang sangat parah, itu saya amini benar. Akan tetapi menurut hemat saya, efektifitas upaya penanggulangan pembajakan tidaklah ditentukan dari apakah delik yang diterapkan delik biasa atau delik aduan. Apapun delik yang dipakai, kuncinya sebenarnya ada pada seberapa kuat kemauan dan komitmen kita untuk bertindak. Willingness ini tidak hanya perlu ditunjukkan oleh aparat hukum yang berwenang, melainkan harus pula didukung dengan political will yang kuat dari pemerintah. Tanpa itu semua, sekuat dan sekeras apapun sanksi hukum bagi pelanggar hak cipta hanya akan menjadi macan kertas yang ompong tak berdaya.

Di samping itu, menyama-ratakan semua bentuk pelanggaran hak cipta seperti pembajakan dengan menerapkan delik biasa untuk pemidanaannya bukanlah pilihan yang tepat menurut saya, dimana secara prinsip malah akan mencederai konsep inti dari perlindungan hak cipta itu sendiri. Kembalikanlah pidana pelanggaran hak cipta menjadi delik aduan, bersama-sama lagi dengan anggota keluarga besar HKI yang lain.

Sekedar saran untuk mencari jalan tengah demi mengakomodir kekhawatiran mengenai efektivitas pemberantasan pembajakan setelah kembali ke delik aduan nanti, mungkin bisa dipikirkan juga bagaimana kalau RUU Perubahan UU Hak Cipta ini nanti diformulasi sedemikian rupa sehingga meskipun secara umum tindak pidana pelanggaran Hak Cipta merupakan delik aduan, tetapi khusus untuk penggandaan buku, musik, film dan perangkat lunak secara ilegal serta penjualan hasil penggandaan tersebut tetap menjadi delik biasa. Lagipula pembajakan toh bukan hanya soal pelanggaran hak cipta semata, karena ada pelanggaran hukum lainnya disana, seperti pajak atau perijinan peredaran film misalnya.

Ekses negatif kemungkinan penyalah-gunaan wewenang oleh oknum aparat manakala pelanggaran Hak Cipta merupakan delik biasa patut pula menjadi pertimbangan, seperti cerita saya soal pengusaha cakram optik di bagian awal tulisan tadi. Salah-salah, ABG-ABG labil yang membawa-bawa DVD bajakan film “Twilight” dan “New Moon” hanya karena ingin berhisteris ria memandangai sang Edward Cullen bisa memiliki resiko ditangkap yang sama seperti seorang pemadat yang membawa-bawa narkoba dalam tasnya…

Hati-hati ah…!

SUBSTANSIALITAS DALAM PELANGGARAN HAK CIPTA ATAS LAGU

Belum lama berselang saya sempat berdiskusi ringan dengan seorang rekan yang bercerita soal permasalahan Hak Cipta temannya yang sedang ia coba bantu untuk damping. Jadi ceritanya, temannya rekan saya ini adalah seorang musisi yang lagunya tiba-tiba tanpa permisi dipakai oleh sebuah rumah produksi sebagai musik latar pada tayangan iklan sebuah produk komersial. Si musisi sendiri baru tahu kalau lagunya dipakai setelah beberapa orang temannya mencoba mengkonfirmasi hal tersebut, karena memang bagian lagu yang dipakai tidak terlalu panjang namun toh tetap dikenali banyak orang. Tidak diketahui apakah ada yang sampai minta traktir kepada si musisi tadi gara-gara menyangka ia pasti menerima royalty yangbesar untuk lagunya tersebut, cuma kalau sampai ada ya lengkaplah penderitaan kawan kita satu itu…

Pada dasarnya, prinsip dasar perlindungan Hak Cipta sendiri seperti yang tertuang pada Pasal 2 Ayat 1 UU no.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah hak eksklusif yang diberikan kepada seorang pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya – termasuk di antaranya lagu, dimana dengan adanya hak eksklusif tersebut maka tidak ada seorangpun yang boleh mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut tanpa sepengetahuan dan/atau seijin si pencipta.

Pada tataran teori prinsip ini memang terlihat begitu lugas dan sederhana: anda pakai lagu orang tanpa ijin berarti anda melanggar Hak Cipta dan andapun bisa digugat atau masuk bui. CD-CD audio atau versi MP3 bajakan yang sering kita beli (ooops!…) di kaki lima adalah versi “sederhana” dari pelanggaran Hak Cipta berdasarkan prinsip ini, meskipun toh terbukti penindakannya juga nggak sederhana-sederhana banget. Tapi masalah pelanggaran Hak Cipta atas lagu bukan hanya sekedar soal CD-CD bajakan di Glodok atau Mal Ambasador semata. Bagaimana dengan penjiplakan lagu baik seluruhnya maupun sebagian seperti yang sering kita jumpai sehari-hari, saat sebuah lagu baru, jingle iklan atau soundtrack sinetron yang kita dengar kok kayaknya sangat mirip dengan lagu lain yang lebih dulu terkenal? Bisakah disebut telah terjadi pelanggaran Hak Cipta atas dasar kemiripan belaka? Kalau ya, lantas kemiripan yang seperti apakah yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Cipta?

UU Hak Cipta kita memang tidak terlalu spesifik mengatur mengenai masalah ini. Tidak bisa terlalu disalahkan tentunya, karena memang tidak baik kalau sebuah produk hukum setingkat UU mengatur terlalu detail dan mendalam. Yang tegas-tegas dinyatakan UU ya Pasal 2 itu tadi soal hak eksklusif pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan, ditambah aturan fair use di Pasal 15 yang mengecualikan penggunaan-penggunaan ciptaan untuk tujuan pendidikan atau nonkomersial dari pelanggaran Hak Cipta sepanjang menyebutkan sumbernya.

Namun setidaknya di penjelasan Pasal 15 UUHC sudah mengakui bahwa pengukuran terjadinya pelanggaran Hak Cipta akan lebih tepat jika dilakukan secara kualitatif dan bukan kuantitatif. Terlepas dari banyak atau sedikit, panjang atau pendek, tebal atau tipis, menurut UUHC jika bagian yang substansial dari suatu ciptaan sudah dipakai tanpa ijin si pencipta berarti pelanggaran hak cipta sudah dilakukan.

Cukup sampai disitulah UUHC kita bicara: “…bagian yang paling substansial dan khas yang menjadi ciri dari ciptaan…”, titik. Soal bagaimanakah itu artinya “substansial” atau “khas”, pintu dibuka lebar-lebar kepada lembaga peradilan untuk menafsirkan dan pada akhirnya memutus. Celakanya, sampai saat ini sepertinya soal “substansial” dan “khas” ini belum pernah benar-benar dibahas dan diuji dalam perkara oleh lembaga peradilan kita, sehingga kitapun masih dibuat bingung mengawang-awang dibuatnya. Kalau sudah begini, tentu tidak ada salahnya kalau kita sedikit belajar dari rekan-rekan kita yang sudah lebih berpengalaman di luar sana.

***

Saat saya baru mulai “berkenalan” dengan bidang HKI, khususnya Hak Cipta, di bangku kuliah bertahun-tahun yang lalu, saya pernah diberitahu bahwa konon tolok ukur pelanggaran hak cipta sebuah karya musik adalah sebanyak “delapan bar”. Saya tidak tahu persis bagaimana istilah “bar” diartikan secara teknis notasi musik, mungkin satu baris notasi atau entahlah. Nah, adapun “aturan delapan bar” tadi kurang lebih maksudnya adalah bahwa suatu hak cipta sebuah lagu atau komposisi bisa dianggap telah dilanggar jika ada bagian dari lagu/komposisi itu sebanyak delapan bar yang diambil/direproduksi di sebuah lagu/komposisi yang lain tanpa seijin si pencipta. Kalau benar demikian, maka “aturan delapan bar” ini mengacu pada ukuran kuantitatif karena yang diukur adalah seberapa banyak atau panjang bagian lagu yang diambil oleh si pembajak.

Lantas apakah memang benar ada “aturan delapan bar” itu?
Sebuah kasus di tahun 1963 yang diputus oleh Pengadilan di Inggris Raya – Francis, Day & Hunter v Bron – memiliki kaitan yang erat dengan aturan delapan bar ini. Objek sengketa dari kasus ini adalah sebuah lagu populer berjudul “Why” yang ditulis oleh Robert Marcucci dan Peter De Angelis dan dinyanyikan oleh Frankie Avalon hingga menjadi hit di Amerika Serikat pada tahun 1959 dituduh menjiplak dan melanggar hak cipta lagu “In a Little Spanish Town” karya Mabel Wayne dan Sam Lewis yang lebih dahulu populer di Inggris tahun 1928 oleh Paul Whiteman & His Orchestra. Tuduhan tersebut didasarkan atas perbandingan lembar notasi balok musik dari kedua lagu yang menunjukkan kemiripan yang nyaris identik pada delapan bar pertama, meskipun selanjutnya kedua lagu cukup berbeda satu sama lain.

Majelis Hakim yang menyidangkan kasus ini kemudian memang mengakui kalau delapan bar pertama kedua lagu memang identik. Namun Majelis Hakim tersebut kemudian menyatakan – berlainan dengan yang umum kita ketahui selama ini tentang “aturan delapan bar” – bahwa bukanlah kesamaan identik pada “delapan bar” itu yang menentukan telah terjadi pelanggaran hak cipta atau tidak. Bahkan jika keseluruhan bagian kedua lagu identik sekalipun, bisa saja pelanggaran tidak terbukti kalau tidak memenuhi unsur-unsur lainnya.

Majelis dalam putusannya lantas mengeluarkan fatwa mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk membuktikan terjadinya pelanggaran hak cipta atas karya musik. Pertama, mesti ada kesamaan yang objektif dan substansial di antara ke dua karya, meskipun tidak perlu kesamaan yang identik atau persis sama sekali. Gampangnya barangkali, meskipun tidak selamanya seperti itu, kesamaan di antara kedua lagu tersebut secara obyektif bisa membuat orang menganggap bahwa lagu kedua merupakan jiplakan dari lagu yang pertama.

Kedua, harus terdapat hubungan kausal antara kedua lagu. Artinya, harus dapat dibuktikan bahwa lagu yang dianggap melanggar memang bersumber dari, atau ditulis berdasarkan, lagu yang lebih dahulu. Wah, susah dong kalau begini caranya. Bagaimana bisa dibuktikan seperti itu?

Rupanya Majelis Hakim juga tidak mau susah-susah, karena menurut mereka dalam kasus ini cukup kalau hakim dapat diyakinkan bahwa penulis lagu yang dianggap melanggar/menjiplak mengenal atau memiliki akses terhadap lagu yang dijiplak tadi. Sebagai contoh, kalau misalnya lagu “Stars are Blind”-nya Paris Hilton dianggap menjiplak karena memiliki kesamaan obyektif dengan lagu “Kingston Town” yang dipopulerkan oleh UB40, maka berdasarkan aturan tadi pencipta dan produser lagu Paris Hilton harus bisa meyakinkan hakim kalau mereka samasekali tidak pernah mengetahui tentang, apalagi mendengar, lagu “Kingston Town“.

Kalau dilihat dari kasus Frances, Day & Hunter v Bron di atas, maka dapat dikatakan bahwa “delapan bar” dari sebuah lagu, ataupun ukuran-ukuran kuantitatif lainnya seperti sepuluh prosen jumlah halaman buku misalnya, bukanlah ukuran yang tepat dipergunakan untuk menentukan telah terjadinya pelanggaran Hak Cipta. Sebaliknya, ukuran kualitatiflah yang harus dipergunakan untuk menyatakan bahwa bagian substansial dari suatu karya telah dilanggar oleh karya lain. Urusan kita ternyata belum tuntas di sini, pertanyaan kembali lagi ke awal: bagaimana cara menentukan bagian yang “substansial” tadi?

Sebuah kasus lain yang lebih “jadul” lagi dan sama-sama diputus oleh pengadilan di Inggris mungkin bisa sedikit membantu kita menjawab misteri ini. Pada tahun 1934 sebuah perusahaan penerbit musik di Inggris menggugat sebuah rumah produksi newsreel, tayangan berita yang diputar di bioskop sebelum film dimulai pada era sebelm televisi, karena dalam salah satu newsreel yang telah ditayangkan terdapat alunan lagu “Colonel Bogey’s March” yang hak ciptanya dimiliki oleh penerbit musik tersebut. Newsreel yang diputar sebenarnya berisi liputan upacara peresmian sebuah akademi Angkatan Laut di Suffolk, dimana kelompok musik AL memainkan mars tersebut. Bahwa mars tersebut dimainkan oleh kelompok musik AL tidak dipermasalahkan oleh si penerbit musik karena konteksnya yang non-komersial, tapi bahwa liputan berita tadi ternyata “menangkap” sebagian dari lagu yang sedang dimainkan tersebut ternyata jadi masalah. Padahal newsreel itu sendiri hanya memuat 20 detik dari keseluruhan lagu mars yang panjangnya kurang-lebih empat menit itu.

Yang jadi masalah, sebagaimana pembelaan si rumah produksi dalam kasus Hawkes & Son (London) v Paramount Films Service Ltd tersebut, substansialkah duapuluh detik jika dibandingkan dengan empat menit keseluruhan lagu, atau kurang lebih hanya sekitar 8% saja?

Majelis Hakim dalam kasus ini menegaskan bahwa substansialitas dari sebuah karya yang diambil tidak bisa diukur secara kuantitatif. Duapuluh detik atau empat menit, delapan atau seratus prosen, tidak ada bedanya dalam hal ini. Untuk lagu atau komposisi musik, Majelis Hakim menyatakan bahwa harus dijadikan pertimbangan apakah bagian dari sebuah lagu yang dijiplak dan dipergunakan dalam sebuah lagu yang baru, meskipun telah diaransemen ulang sedemikian rupa, namun tetap bisa dikenali “asal-usul”-nya sebagai bagian yang khas dari lagu awal yang dijiplak tadi.

Kalau sebagian besar dari kita di Indonesia ini ditanya seperti apakah lagu yang judulnya “Colonel Bogey’s March” tadi, mungkin banyak yang akan menggelengkan kepala tanda tidak tahu. Asal tahu saja, bagian paling khas dari lagu ini yang juga menjadi bagian yang dipersoalkan dalam kasus Hawkes & Son (London) v Paramount Films Service Ltd di atas juga cukup populer di Indonesia sebagai jingle iklan salah satu obat sakit kepala terkemuka di dalam negeri yang bintang iklan utamanya belum lama ini berhasil memenangi pilkada sebagai Wakil Gubernur di propinsi Jawa Barat…

***

Urusan mengukur substansialitas dari suatu bagian dari karya musik terkait pelanggaran Hak Cipta memang bukan perkara sederhana. Majelis Hakim dalam kedua perkara di atas, contohnya, ternyata memilih untuk tidak memberikan aturan yang pasti dan hanya sekedar memberi garis-garis besar langkah yang bisa dilakukan, karena ukurannya memang tidak akan pernah sama untuk setiap kasus yang berbeda.

Plagiarisme dalam bermusik sendiri masih menjadi isu yang kontroversial. Musisi nyentrik Ahmad Dhani dalam sebuah wawancara dengan majalah musik terkemuka Rolling Stone edisi Indonesia pernah menyatakan kalau isu plagiarisme hanya digembar-gemborkan oleh orang yang kurang kerjaan karena toh dari sejak dahulu kala para musisi dunia sekalipun gemar menginspirasi (baca: “menjiplak”…:p) satu sama lain. Banyak sekali lagu yang mirip satu sama lain. Apakah lagu “Sempurna” milik Andra and the Backbone merupakan plagiat dari lagu “Dust in the Wind” milik Kansas? Bagaimana dengan kemiripan lagu India “Sawan Ka Mahina” dengan “Sembako Cinta”-nya Thomas Djorghi, seperti banyak lagu-lagu dangdut lainnya? Terus juga lagu “Fool to Cry”-nya The Rolling Stones dengan “Bimbim Jangan Menangis”-nya Slank? Atau bagaimana soal lagu “Terang Bulan” dengan lagu “Negaraku” yang menjadi lagu kebangsaan negeri tetangga kita Malaysia?

Meskipun plagiarisme sendiri bukanlah masalah hukum, namun plagiarisme bisa saja berkembang menjadi isu hukum terutama menyangkut pelanggaran hak cipta manakala unsur-unsurnya terpenuhi. Sebagian musisi mungkin seperti Ahmad Dhani, tenang-tenang saja baik saat sedang dijiplak maupun menjiplak. Tapi toh yang tergerak sampai memperkarakan ke pengadilan juga tidak sedikit. Pemegang hak cipta atas lagu “Kingston Town” yang saya ceritakan di atas tadi misalnya, tempo hari sempat mengajukan gugatan terhadap produser lagu “Stars Are Blind”-nya Neng Paris meskipun saya belum dengar kabar terakhir kelanjutan kasusnya. Terakhir bahkan gitaris kawakan mantan personil Deep Purple Joe Satriani dikabarkan tengah menggugat grup musik Coldplay ke pengadilan federal di Los Angeles lagu tahun 2008 berjudul “Viva La Vida” milik grup musik senegaranya itu dianggap mengambil dan mempergunakan tanpa ijin bagian yang substansial dari komposisi gitar instrumental berjudul “If I Could Play” yang dirilisnya tahun 2004.

Gugat menggugat seperti ini memang belum terjadi di Indonesia, tapi belum tentu tidak akan terjadi. Dan kalau waktunya tiba nanti, mudah-mudahan tidak akan ada pencari keadilan yang kecewa hanya gara-gara: “Undang-Undang-nya tidak mengatur soal itu, tuh….”

HAK CIPTA MUSIK: GIGI DAN PARA PEMBAJAK NAKAL…

Sebuah artikel mengenai pembajakan Hak Cipta ditulis oleh kelompok musik GIGI dan dimuat di Harian Kompas edisi hari Kamis kemarin (25/6) tentang maraknya pembajakan hak cipta karya-karya musik di Indonesia. Tulisan tersebut menarik bagi saya karena membahas soal pembajakan dari sudut pandang sebuah kelompok pekerja seni di bidang musik yang cukup produktif dalam berkarya, dimana mereka tentunya merasakan benar bagaimana besar dampak pembajakan bagi industri tempat mereka berjuang mengasapi dapur mereka sehari-hari.

Dalam tulisan blog kali ini, saya akan memuat beberapa catatan yang saya dapat dari artikel tersebut.

***

Mengamini pendapat GIGI, sebenarnya kita sudah memiliki UU yang mengatur mengenai perlindungan Hak Cipta, UU no. 19 tahun 2003 tentang Hak Cipta dengan cukup kuat. Lingkup perlindungan sudah diperluas, mekanisme penyelesaian sengketa diperingkas dan ancaman sanksi pun sudah diperberat dibandingkan dengan sederet UU Hak Cipta yang kita miliki sebelum-sebelumnya.

Toh Undang-Undang yang sudah cukup kuat itupun tetap tidak mampu mencegah pelanggaran hak cipta semakin merajalela. Di pusat-pusat perbelanjaan mulai dari kelas kaki lima hingga kelas atas masih saja bisa kita menemukan toko-toko yang dengan bebas merdeka menjual keping-keping CD/DVD berisi musik, film atau program komputer bajakan.

Dalam artikel di Kompas tadi GIGI menyampaikan tentang kurangnya political will pemerintah untuk menegakkan UU Hak Cipta yang mereka buat sendiri dengan lebih serius, yang diduga menjadi salah-satu faktor terus merajalelanya pembajakan bahkan di depan mata para aparat itu sendiri. Dengan adanya political will yang lebih kuat, diharapkan aparat penegak hukum kita bisa lebih pro-aktif dalam menindak dan memberantas pembajakan, apalagi mengingat UU Hak Cipta kita sekarang menempatkan tindak pidana pelanggaran Hak Cipta sebagai delik biasa dan bukan lagi merupakan delik aduan.

GIGI lalu membuat perbandingan tentang keseriusan aparat dalam memberantas pembajakan dengan menyitir sebuah perkara yang belum lama diputus oleh Pengadilan Federal di negara bagian Minnesota, Amerika Serikat, dimana seorang ibu rumah-tangga berusia 32 tahun bernama Jammie Thomas-Rasset dinyatakan bersalah melanggar Hak Cipta 24 buah lagu yang disediakannya secara ilegal di sebuah situs file-sharing, dimana atas kesalahannya tersebut si nyonya muda tadi harus membayar sebesar 1,9 juta dolar.

Kasus ini sendiri memang cukup menghebohkan dan kontroversial, karena baru untuk pertama-kalinya aktivitas file-sharing di internet sampai disidangkan di pengadilan di Amerika Serikat karena melanggar Hak Cipta. Namun meski kasus ini dari sudut pandang tertentu dapat dilihat sebagai bukti ketegasan pengadilan di Amerika Serikat dalam memutus mengenai pelanggaran Hak Cipta, namun kasus ini tidak dapat dipergunakan sebagai acuan untuk membandingkan keseriusan aparat hukum seperti polisi maupun kejaksaan dalam memerangi pembajakan.

Alasannya sederhana: kasus ini adalah kasus perdata, bukan pidana. Rasset dihadapkan ke pengadilan bukan karena ditangkap oleh aparat kepolisian ataupun dituntut oleh kejaksaan gara-gara ulahnya menyediakan file-file lagu digital di jaringan internet. Ia digugat oleh RIAA (Recording Industry Association of America), yang bertindak demi kepentingan empat perusahaan rekaman terbesar di Amerika Serikat: Warner Music, Universal Music, EMI dan Sony Music.

RIAA menuduh Rasset telah menyediakan 1,700 lagu secara ilegal ke situs internet file-sharing Kazaa sebelum situs tersebut menjadi penyedia jasa langganan musik yang legal (juga atas hasil desakan dan upaya hukum industri rekaman). 24 lagu kemudian dipilih untuk proses pembuktian di pengadilan, dimana seluruhnya terbukti telah disediakan oleh Rasset secara ilegal dan membuatnya harus membayar ganti-kerugian (damage – bukan denda) sekitar 80 ribu dolar per lagu.

Kalau kita bicara dalam konteks hukum Hak Cipta, apa yang dilakukan oleh Rasset memang merupakan salah-satu bentuk pelanggaran Hak Cipta. Saat Rasset menghubungkan komputernya ke sebuah situs file-sharing sehingga memungkinkan seluruh lagu yang tersimpan dalam bentuk digital di komputer tersebut diunduh oleh semua pengguna yang juga tersambung dengan situs file-sharing yang sama tanpa sepengetahuan apalagi persetujuan dari pemegang Hak Cipta lagu-lagu tersebut, berarti setidaknya Rasset sudah dengan sengaja menyediakan lagu-lagu tersebut untuk direproduksi secara tidak sah.

Jelas bukan hal yang sulit bagi pengacara manapun untuk membuktikan dan bagi hakim manapun untuk memutus bahwa telah terjadi pelanggaran Hak Cipta dalam kasus ini. Yang menarik buat saya justru karena suksesnya gugatan pengadilan yang diajukan industri melawan pelanggar HKI individual berskala rumahan ini menandai “one new step forward” dari gejala yang mulai mengemuka sejak beberapa tahun terakhir ini dimana industri hiburan yang memiliki begitu banyak aset intelektual yang dilindungi Hak Cipta bertindak semakin gencar dan agresif dalam melindungi aset-aset intelektual mereka.

Kita masih ingat bagaimana Disney dengan gigih mensponsori amandemen perpanjangan masa perlindungan Hak Cipta dari semula 50 menjadi 70 tahun setelah meninggalnya pencipta, yang membuat UU yang memuat amandemen tersebut diolok-olok sebagai Mickey Mouse Act.

Dan sekarang industri rekaman yang pasang taring. Setelah sempat merontokkan beberapa situs file-sharing seperti Napster dan Kazaa, kali ini giliran para end-user dengan PC masing-masing di rumah yang disasar, termasuk seorang ibu rumah-tangga bernama Jammie Thomas-Rasset tadi. Selain Rasset terdapat pula sekitar 30,000 pengguna lainnya yang terkena gugatan serupa dari industri musik, bayangkan! Meskipun akhirnya semua memilih untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan nilai damai rata-rata sekitar 3,500 dolar per individu, jauh lebih tinggi dari rata-rata nilai damai saat Anda melanggar lampu merah…

***

Tren semakin agresifnya industri rekaman dalam melindungi aset intelektual mereka juga dapat dimaknai sebagai sinyal jelas kepanikan industri tersebut dalam menghadapi ancaman semakin tergerusnya pasar musik dengan media fisik yang konvensional oleh musik berformat digital, yang dengan bantuan internet makin mudah untuk diperbanyak dan disebarluaskan dimana kontrol justru menjadi semakin sulit untuk dilakukan.

Dari sudut pandang penegakan HKI secara saklek memang tidak ada yang salah dengan aggressive enforcement yang dilakukan oleh para pemegang Hak Cipta karena itu memang hak mereka sebagai bagian dari hak eksklusif yang diberikan. Namun dari sudut pandang sosial, jika kebablasan, reaksi agresif semacam ini justru berpotensi menjadi bumerang dan menimbulkan masalah baru bagi industri rekaman itu sendiri.

Perlu disadari bahwa penghargaan terhadap HKI dari masyarakat salah-satunya sangat dipengaruhi oleh respek masyarakat terhadap pencipta, dalam konteks ini musisi, dan karya cipta yang dihasilkannya. Nah, kalau industri rekaman terlalu membabi-buta menggugat setiap orang yang dianggap melanggar Hak Cipta, bisa-bisa respek masyarakat dan konsumen penikmat musik malah akan tergerus dan membuat mereka tidak peduli sama-sekali. Bukan tidak mungkin para pembajak dan pelanggar Hak Cipta nantinya malah dielu-elukan sebagai “pahlawan” semacam Robin Hood yang “memberikan” hiburan secara mudah dan cuma-cuma, meskipun dari hasil “merampok” industri musik yang menjual musik kemahalan dan masih sempat juga tega-teganya menangkapi para penikmat musik di rumah masing-masing.

Bagi saya apa yang diharapkan oleh GIGI dalam artikel mereka terkait political will dalam penegakan perlindungan Hak Cipta benar adanya dan mesti didukung. Ketegasan pemerintah dan aparat hukum dalam melaksanakan UU Hak Cipta secara efektif dan konsisten untuk memberantas pembajakan dengan serius dan sungguh-sungguh adalah suatu hal yang sangat penting dan mutlak adanya.

Namun di sisi lain, penting juga bagi para musisi dan industri yang menaungi mereka untuk mengkombinasikan upaya memerangi pembajakan itu dengan kemauan untuk lebih luwes dan fleksibel beradaptasi dengan tuntutan masyarakat konsumen musik di era teknologi informasi seperti sekarang ini demi memelihara respek konsumen terhadap karya-karya yang dihasilkan. Meksipun pembajakan mungkin tidak akan dapat diberantas habis sampai kapanpun, tapi paling tidak bisa diminimalisir karena semakin banyak orang yang berpikir dua kali untuk memperoleh lagu secara ilegal.

Terima-kasih Kang Armand dan kawan-kawan untuk uneg-uneg dan inspirasinya, mudah-mudahan kalian tidak semakin sering merasa panas dan pusing karena ulah pembajak yang nakal-nakal itu…

PERFORMING RIGHTS AND COLLECTING SOCIETY UNDER INDONESIAN COPYRIGHT LAW: A COMMENT ON THE CURRENT YKCI-ASIRI DISPUTE

(Published in the JIII Yearly Magazine IP COMMUNITY Volume 10 – March 2007)

Article 2(1) of Indonesia Law no. 19/2002 on Copyrights (the Copyright Law of 2002) defines copyrights as exclusive rights given to authors or rights holders to publish or reproduce their respective works. In the context of songs or musical works[1], the said exclusive rights indeed fall into the hands of the songwriters.

The said exclusive rights, as explicitly read in the law, in fact consist basically of two separate yet highly-related rights to perform two distinguishable acts respectively: the right to publish/perform and the right to copy. While the difference between the two lies within the different concepts of publishing and copying a copyrighted work, as has indeed occurred in many cases, the failure to understand such concepts consequently leads to further confusion when copyright protection comes to actual application and enforcement.

Publishing/performing is defined by the law to include reciting, broadcasting, exhibiting, putting on sale, circulating, or disseminating copyrighted works using any possible medium including the internet; or engaging in any act that would enable a copyrighted work to be read, heard, or seen by others[2]. Rights to publish or to perform are often referred to as performing rights

On the other hand, copying is defined as the act of reproducing a particular work, either in its entirety or a substantial part thereof, using identical or different materials, including permanent or temporary transformation of the work[3] (i.e., the mechanical right).

Reproduction of a song or musical work technically occurs every time the song is sung or played, either in its entirety or a single line thereof, and regardless of what instrument, equipment, or arrangements are used for the process. When someone buys an authorized notation sheet or record of Sir Elton John’s Your Song, for instance, that person is actually licensed through this purchase to execute the said mechanical right by playing the song with his or her guitar according to the notation sheet, or by playing the record in his or her own stereo system—both for personal enjoyment.

But one couldn’t care less than to keep his playing of a copyrighted music through a CD he legally bought away from others, or let’s say public, presence. At the time this person sings or plays the song in front of the public, regardless of the number or the commercial nature, through the definition prescribed by the law this person has already moved into publishing or performing a copyrighted work publicly—which is a shift from merely exercising the mechanical rights as authorized, to exercising the performing rights to which he or she is not entitled.

In a real sense, however, while the licensing of mechanical rights by the owner of the work is relatively easy to do through the sales of music records, the situation regarding performing rights is often a bit more complicated. Public performances of musical works could happen just anywhere at any given time since songs are played in hotels, restaurants, cafes, shopping centers, karaoke houses, hospitals, and many other public places. As a result, this would provide significant headaches as to the matter of licensing and collecting royalties. Frankly speaking, if every songwriter must endeavor alone regarding the licensing for public performances of songs, no songwriter could create more songs due to a lack of time.

Here is where organizations called “performing rights collecting societies”[4] are doing what is essentially similar to a work of magic. Instead of licensing their own songs and collecting royalties individually, songwriters gather together in collective societies that in turn do this kind of work on their behalf. Using the common blanket licensing system, a collecting society charges music users a flat rate per annum for a repertoire of songs that the society manages on behalf of the respective songwriters. The royalties are then distributed to the rightful recipients based upon play-lists that are submitted by the music users.

For Sir Elton John & co., life suddenly becomes beautiful again since the collecting societies do all the work and they are able to sit down and relax in an armchair while thinking of other hits to make…

***

For the past 16 years, the role of the performing rights collecting society has been taken by Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). This non-profit organization has legal power as assigned by more or less 2,500 local Indonesian songwriters. Being a member of CISAC[5], this organization also represents the interests of thousands of songwriters worldwide with regard to performing rights.

Albeit not for the first time[6], in the past few months YKCI has been forced to fasten its seat-belt as the road is getting bumpier than ever. ASIRI, the national association for the recording industry, put a legal notice ad in a nationwide daily newspaper in mid-2006 demanding YKCI to cease its activities of collecting royalties from business establishments such as shopping malls, hotels, restaurants and the likes for playing music in their premises[7].

 

ASIRI alleges that YKCI has gone too far beyond its actual legal capacity since not every songwriter has assigned YKCI the power to act on his/her behalf with regard to royalties upon performing rights, while there is no mention at all within the Copyright Law of 2002 authorizing YKCI to collect royalties for performing rights from all music users.

 

ASIRI also argues that even though the existence and role of YKCI are still necessary, YKCI should have been collecting royalties from live music performances instead of from the public playing of recorded music belonging to ASIRI members. As the national recording industry association, ASIRI claimed to have a membership of about 80 recording companies. Every company is said to have exclusive rights over every master recording it produces, including the publishing of recorded songs. This is derived from the agreement a songwriter enters into with a record company to record his/her works.

 

This still ongoing dispute actually runs much deeper than a mere dispute between a performing rights collecting society and the recording industry association concerning the performing rights of copyrighted works. YKCI basically acts on behalf of artists and songwriters, whereas ASIRI is obviously a representation body of the recording companies. Indeed, what lies beneath anything that happened between the two is basically no less than the classic dispute between songwriters or artists on one side and the industry on the other side, with regard to the very basic concept of copyright ownership itself.

 

***

 

I think it is quite obvious that if we were to treat the current YKCI-ASIRI dispute as a dispute between songwriters vs. recording companies with regard to copyright ownership issues, we might as well look back to the basic provisions of the Copyright Law of 2002. Once again, Article 1(1) clearly states that copyrights are the exclusive rights reserved only to “the author” or “the assignee of rights.” Indeed, within the context of songs or musical works, the respective songwriters shall always be regarded as the “authors”—thus the owners—of their works.

 

On the other hand, nobody could ever deny the inevitability of recording companies’ role in the modern music industry, which literally turns raw materials in the form of songs from the songwriters into a finished music recording. There is certain added value to the original song thanks to record producers, which is a process that indeed requires considerable investment.

 

The Copyright Law of 2002 also recognizes this importance, and as such has granted what is called “neighboring rights” to producers of sound recordings, thereby granting them exclusive rights to allow or forbid any other party without their consent to copy and/or lend their music or sound recordings. Looking at the scope of said neighboring rights, it should be clear and obvious that producers of sound recordings are granted significant rights to control their works. However, one should also bear in mind that the sound recording over which the producers reserve their rights should be based upon legally acquired songs from the respective songwriters.

 

Nevertheless, in actual circumstances, sometimes every thing that could go wrong seems to indeed go from bad to worse. In some cases, songwriters find themselves in such a weak and disadvantageous bargaining position so as to eventually lead them to submit to whatever the recording producers want them to do – e.g. agreeing on a contractual basis to sell or transfer all rights over a song or music work to the recording producer, including both the mechanical and performing rights thereof. There are also many cases, moreover, where both the songwriters and the producers are not even aware of the copyright provisions in the Copyright Law of 2002.

 

I believe that by providing such a configuration of rules and protections, the Indonesian Copyright Law actually tries to set a balance of rights and interests. Value added to a song or music work that has become a sound recording shall be respected by granting certain exclusive rights to the producer in a way that shall not by any means jeopardize the interests of the respective songwriters.

 

Based upon the above convictions, I am of the opinion that a final and concluding settlement over YKCI-ASIRI is very crucial indeed. Not only would this clarify the position of YKCI as the performing rights collecting society in Indonesia, but far beyond this, it would serve as a perfect device for redefining the vital role of the copyright system itself in bridging the realm of musical creation and the music industry in Indonesia—especially for securing the rights of each stakeholder therein.